yume

yume

Yume Almo

Monday 6 January 2014

YASUNARI KAWABATA

"ORANG JEPANG PERTAMA YANG MEMPEROLEH NOBEL"



KAWABATA YASUNARI
karya kawabata yg pernah saya baca adalah " Gadis Penari Izu" dan itu novel kalisik jepang pertama yang saya baca. kisah yang indah dan gaya penulisan yang lumayan sederhana, dan selalu ada daftar istilah seperti di manga saja. Pict diatas adalah beberapa karya Kawabata yang sangat terkenal.

kesan tulisan Kawabata adalah halus, lembut, keindahan dan kebudayaan yang kuat. saya akui saya jatuh hati dengan novel Kawabata. Banyak cerita menarik tentang Kawabata Yasunari berikut ini sedikit cerita mengenai beliau


Yasunari Kawabata (川端 康成 Kawabata Yasunari), lahir di Osaka14 Juni 1899 – meninggal di Zushi, Kanagawa16 April 1972 pada umur 72 tahun) adalah seorang novelis Jepang yang prosa liriknya membuat ia memenangkan Penghargaan Nobel dalam Sastrapada 1968. Ia menjadi orang Jepang pertama yang memperoleh penghargaan tersebut. Karya-karyanya hingga kini masih dibaca bahkan di dunia internasional.





Sewaktu masih mahasiswa, Kawabata menghidupkan kembali majalah sastra Universitas Tokyo, Shin-shichō (Arus Pemikiran Baru) yang telah mati lebih dari empat tahun. Dalam majalah itu, ia menerbitkan cerita pendeknya yang pertama pada tahun 1921, "Shokonsai Ikkei" ("Suasana pada Suatu Pemanggilan Arwah") -- sebuah karya yang hingga kini masih diakui nilai sastranya. Ketika kuliah, ia pindah ke jurusan Sastra Jepang dan menulis skripsi berjudul "Sejarah Singkat Novel-Novel Jepang". Ia lulus dari Universitas Tokyo pada bulan Maret 1924.

Pada Oktober 1924, Kawabata bersama Kataoka Teppei, Yokomitsu Riichi, dan sejumlah penulis muda lainnya menerbitkan sebuah jurnal sastra baru Bungei Jidai (Zaman Artistik). Jurnal ini adalah reaksi terhadap aliran sastra Jepang yang lama dan mapan, khususnya aliran Naturalisme. Sementara itu, Bungei Jidai juga pada saat yang sama bertentangan dengan gerakan sastra proletariat atau sastra kaum buruh dari pahamsosialisme/komunisme. Gerakan seni yang dipimpin jurnal Bungei Jidai adalah "seni untuk seni" yang dipengaruhi oleh kubisme Eropa, ekspresionisme, dadaisme, dan gayamodernisme lainnya. Istilah Shinkankaku-ha yang dipakai Kawabata dan Yokomitsu untuk menjelaskan filosofi mereka sering kali keliru diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris sebagai "neo-impresionisme". Namun, Shinkankaku-ha tidak dimaksudkan sebagai versi baru atau pemulihan dari impresionisme; gerakan mereka dipusatkan pada upaya memberikan "impresi baru," atau, lebih tepatnya, "sensasi baru" dalam penulisan sastra.

Kawabata mulai mendapatkan pengakuan dengan sejumlah cerita pendek yang ditulisnya tak lama setelah ia lulus. Ia menjadi terkenal berkat cerpen "Gadis Penari dari Izu" pada1926. Kisahnya mengenai seorang pelajar melankolis yang dalam perjalanannya ke Semenanjung Izu bertemu dengan seorang penari, dan menjadi penuh semangat setelah dirinya tiba kembali di Tokyo. "Gadis Penari dari Izu" yang mengeksplorasi erotisisme cinta anak muda disenangi pembaca karena Kawabata memakai tokoh yang melankolis dan bahkan kepahitan untuk mengimbangi cerita yang kemungkinan akan terlalu manis. Kebanyakan karyanya di kemudian hari menjelajahi tema-tema serupa.

Pada tahun 1920-an, Kawabata tinggal di permukiman kelas bawah, distrik Asakusa, Tokyo. Semasa periode ini, Kawabata bereksperimen dengan berbagai gaya penulisan. DalamAsakusa Kurenaidan (The Scarlet Gang of Asakusa) yang dimuat berseri dari 1929 hingga 1930, ia mengeksplorasi kehidupan para demimonde dan masyarakat pinggiran, dalam gaya yang mengingatkan orang pada sastra periode Edo akhir. Di lain sisi, Suisho Genso(Crystalline Fantasy) ditulisnya dengan teknik aliran kesadaran (stream-of-consciousness) murni. Ia bahkan melibatkan diri dalam penulisan naskah untuk film eksperimental A Page of Madness.

Kawabata pindah dari Asakusa ke Kamakura, Prefektur Kanagawa pada tahun 1934. Pada awalnya ia menikmati kehidupan sosial yang aktif bersama para sastrawan dan penulis lainnya di Asakusa, Tokyo, semasa berlangsungnya Perang Dunia II dan beberapa lama sesudahnya. Namun pada tahun-tahun berikutnya, Kawabata menjadi sangat menutup diri.

Salah satu novelnya yang paling terkenal adalah Negeri Salju, yang mulai ditulisnya pada 1934, dan pertama kali diterbitkan secara bertahap sejak 1935 hingga 1937. Negeri Salju adalah sebuah cerita yang gamblang tentang sebuah hubungan cinta antara seorang amatir (dilettante) Tokyo dengan seorang geisha desa yang berlangsung di sebuah kota dengan sumber air panas, jauh di sebelah barat dari Pegunungan Alpen Jepang. Novel ini memantapkan Kawabata sebagai salah satu pengarang terkemuka Jepang dan langsung menjadi sebuah klasik, yang digambarkan oleh Edward G. Seidensticker "barangkali (merupakan) adikarya Kawabata".

Setelah berakhirnya Perang Dunia II, kesuksesannya berlanjut dengan novel-novel seperti Seribu Burung Bangau (sebuah cerita tentang cinta yang bernasib malang), Suara GunungRumah PerawanKecantikan dan Kesedihan, dan Ibu Kota Lama .

Dua karya pascaperang darinya yang paling penting adalah Seribu Burung Bangau dari tahun 1949 hingga 1951 dan Suara Gunung(1949–1954). Seribu Burung Bangau bertemakan upacara minum teh dan cinta tanpa harapan. Protagonis terpikat oleh istri simpanan dari mendiang ayahnya, dan setelah gundik itu meninggal, anak perempuan dari gundik itu dijadikan incaran, tapi lari dari kejarannya. Upacara minum teh memberikan latar yang indah untuk kotornya hubungan manusia. Namun tujuan Kawabata semata-mata mengeksplorasi perasaan mengenai kematian. Perangkat upacara minum teh bersifat kekal, sedangkan manusia itu lemah dan fana. Tema-tema inses terselubung, cinta mustahil, dan kematian yang menghantui kembali dipakainya dalam Suara Gunung. Kali ini latar tempatnya di kota tempat tinggal Kawabata di Kamakura. Protagonis adalah seorang laki-laki menjelang tua yang makin kecewa terhadap anak-anaknya sekaligus kehilangan semua hawa nafsu terhadap istrinya. Ia justru tertarik kepada seorang wanita yang terlarang, menantunya sendiri. Pikiran-pikiran mengenai sang menantu bercampur baur dengan ingatan cinta terlarang yang pernah dialaminya masa lalu, yakni cintanya kepada kakak ipar yang sudah meninggal dunia.

Buku yang dianggapnya sendiri sebagai karya terbaiknya adalah Empu Go (The Master of Go, 1951) karena merupakan sebuah kontras yang tajam dengan karya-karyanya yang lain. Empu Go adalah sebuah kisah setengah fiksi tentang sebuah pertandingan besar Go pada 1938, yang benar-benar dilaporkannya untuk surat kabar Mainichi. Seorang empu bernama Shūsai dalam pertandingan terakhir dari kariernya berhasil dikalahkan oleh seorang penantang muda, dan meninggal sekitar setahun kemudian. Meskipun pada permukaannya hanya menceritakan kembali sebuah akhir perjuangan, sejumlah pembaca menganggap kisah ini sebagai simbolisme paralel dari kekalahan Jepang pada Perang Dunia II.

Kawabata sering mengakhiri cerita-ceritanya seperti belum selesai. Kadang-kadang kebiasaannya ini mengganggu pembaca dan kritikus. Namun caranya itu sejalan dengan estetikanya bahwa "seni untuk seni", dan menanggalkan semua sentimentalisme atau moralitas pada akhir buku. Kawabata melakukannya dengan sengaja, karena ia merasa bahwa rangkaian sketsa atau peristiwa yang terjadi jauh lebih penting dari kesimpulan. Ia menyejajarkan bentuk tulisannya dengan haiku.

Sebagai presiden P.E.N. Jepang selama bertahun-tahun setelah perang (1948–1965), Kawabata merupakan kekuatan pendorong di balik penerjemahan sastra Jepang ke dalam bahasa Inggris dan bahasa-bahasa Barat lainnya.

Pada tahun 1968, Kawabata menjadi orang Jepang pertama yang menerima Penghargaan Nobel Kesusastraan. Penghargaan itu diberikan "untuk kepiawaian narasinya, yang dengan kepekaan luar biasa mengungkapkan inti sari pemikiran Jepang". Komite Nobel mengutip tiga karya utamanya, Negeri SaljuSeribu Burung Bangau, dan Ibu Kota Lama sewaktu memberikan Penghargaan Nobel.

No comments:

Post a Comment